Hardiknas di Tengah Krisis Moral dan Literasi

Berita, Safi Insight52 Dilihat

Oleh: Abie Ikhwan, S.Pd.I., M.Si.
Direktur SAFI Institute & Pemerhati Pendidikan

Garut, Jabar 60 Detik – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Spanduk dan baliho bertuliskan kutipan Ki Hajar Dewantara bertebaran: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.” Namun di balik gegap gempita seremoni tahunan ini, kita dipaksa menundukkan kepala. Sebab, pendidikan Indonesia tengah berada dalam pusaran krisis ganda: krisis moral dan krisis literasi.

Dalam sepuluh tahun terakhir, berbagai lembaga seperti Komnas Perlindungan Anak dan KPAI mencatat lonjakan kasus kekerasan, perundungan, dan pornografi yang melibatkan pelajar. Menurut data KPAI tahun 2023, sebanyak 2.128 kasus kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan, meningkat 17% dibanding tahun sebelumnya.

Moralitas pelajar Indonesia berada di bawah bayang-bayang gadget dan budaya digital instan. Konten viral lebih berpengaruh dibandingkan keteladanan guru. Tokoh panutan tergeser oleh selebgram dan TikToker. Apa yang kita hadapi hari ini bukan sekadar dekadensi perilaku, melainkan defisit akhlak yang menggerus nalar sehat dan karakter bangsa.

Dr. Himmatul Alyah Setiawan, pakar pendidikan karakter dari UIN Jakarta, menyebut fenomena ini sebagai “kemunduran nilai karena absennya pendidikan hati”. Ia menegaskan, “Pendidikan tak hanya soal tahu, tapi juga soal menjadi. Dan kita belum sungguh-sungguh mendidik anak-anak untuk menjadi manusia.

Di saat bersamaan, skor literasi Indonesia masih memprihatinkan. Berdasarkan survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 72 dari 81 negara dalam kemampuan membaca. Skor rata-rata siswa Indonesia adalah 371, jauh di bawah rata-rata OECD yakni 487.

Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca teks, tapi membaca realitas. Bangsa ini belum mampu memproduksi generasi yang melek informasi, apalagi kritis terhadap hoaks dan propaganda.

Prof. Anita Lie dari Universitas Katolik Widya Mandala menyebut, “Problem literasi kita bukan hanya soal teknis baca tulis, tetapi minimnya budaya berpikir reflektif. Buku masih menjadi benda asing, dan ruang kelas tak ubahnya mesin penghafal.

Baca Juga:  MA Darusyifa: Raih Akreditasi B, Makin Maju dan Berkualitas

Kementerian Pendidikan, melalui program Kurikulum Merdeka, mencoba menjawab tantangan zaman dengan fleksibilitas dan pembelajaran berdiferensiasi. Tapi pelaksanaannya masih jauh dari merata.

Laporan Litbang Kemendikbud tahun 2024 menyebutkan, hanya 41% satuan pendidikan yang benar-benar menerapkan Kurikulum Merdeka secara utuh. Sisanya masih terjebak pada pendekatan lama yang menekankan hafalan, bukan pemahaman.

Dari kacamata teori pendidikan Paulo Freire, sistem pendidikan yang terlalu instruksional dan menindas daya kritis siswa disebut sebagai banking education — proses di mana guru “menyetorkan” informasi tanpa memberi ruang dialog. Itulah yang masih terjadi di banyak sekolah kita.

Hari ini, jumlah institusi pendidikan makin banyak. Tetapi nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan cinta tanah air justru makin kabur. Kita mengalami inflasi sekolah tapi defisit kebijaksanaan.

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Pendidikan adalah usaha untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Pertanyaannya: Sudahkah sistem kita benar-benar menuntun, atau justru membebani?

Momentum Hardiknas 2025 semestinya menjadi titik tolak untuk melakukan reorientasi pendidikan nasional. Kita butuh revolusi nilai di tengah laju revolusi digital. Pendidikan harus kembali pada akarnya: membentuk manusia utuh berpengetahuan, berakhlak, dan berdaya cipta.

Langkah pertama: integrasi pendidikan karakter bukan sekadar program sisipan, tetapi menjadi core curriculum yang hidup dalam keseharian guru dan siswa.
Langkah kedua: memperkuat budaya literasi kritis sejak dini, tidak cukup hanya dengan perpustakaan digital, tapi juga dengan membangun keteladanan membaca dari para guru, orang tua, dan pejabat publik.
Langkah ketiga: mengembalikan peran guru sebagai penjaga peradaban, bukan sekadar pelaksana administrasi.**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *