Oleh: M. Rahmat, S.Pd.I., M.Si/Korcam PKH Sucinaraja-Garut
Ketika sebagian orang memaknai pekerjaan sebagai rutinitas, sebagian lainnya menapaki jalan sunyi pengabdian, jalan yang tak selalu tampak, tapi berdampak. Seperti itulah dunia para Pendamping Sosial Program Keluarga Harapan (PKH).
Tahun 2025 menjadi penanda usia 18 tahun PKH sejak pertama kali digulirkan oleh pemerintah. Sebuah angka yang bukan hanya menunjukkan rentang waktu, tetapi juga rekam jejak perubahan: dari sekadar program bantuan sosial bersyarat, menjadi sumbu pemberdayaan bagi jutaan keluarga prasejahtera.
Namun, jika program ini adalah tubuh, maka SDM PKH adalah nadinya. Mereka bukan hanya administrator data atau pembawa kabar penyaluran bantuan. Lebih dari itu, mereka adalah penjaga harapan, pendorong transformasi, dan penghubung antara negara dan rakyat yang nyaris tak bersuara.
Sejak diluncurkan pada tahun 2007, PKH telah menjangkau jutaan KPM (Keluarga Penerima Manfaat). Dulu, bantuan ini mungkin hanya dipahami sebatas nominal bantuan tunai yang masuk rekening. Tapi kini, PKH telah berevolusi menjadi platform intervensi sosial yang dinamis—memastikan anak-anak sekolah, ibu hamil mendapatkan pelayanan kesehatan, dan keluarga tumbuh dalam pola hidup lebih mandiri.
Yang tak banyak diketahui publik, ada peran pendamping di balik itu semua.
Dengan sepeda motor, laptop, dan senyum yang tak pernah habis meski dihantam medan berat, mereka menyusuri desa, kampung, bahkan gang-gang sempit kota untuk mendampingi, mengedukasi, dan memvalidasi. Mereka bukan datang sebagai petugas formal, tapi seringkali dianggap sebagai keluarga kedua oleh para KPM.
Menjadi Pendamping PKH bukan profesi biasa. Mereka harus tangguh secara mental dan emosional. Bagaimana tidak, mereka menghadapi spektrum masalah sosial yang luas: kemiskinan struktural, kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, hingga tekanan psikologis KPM yang frustrasi terhadap hidup.
Namun justru di situlah kekuatan mereka terlihat. Karena di balik formulir verifikasi, ada tatapan mata anak-anak yang ingin tetap bersekolah. Di balik laporan graduasi, ada ibu-ibu yang kini bisa buka warung kecil, atau bapak-bapak yang belajar bertani hidroponik dari pelatihan pemberdayaan.
Bagi Pendamping, pencapaian terbesar bukanlah penghargaan atau seremoni. Tapi ketika satu keluarga mampu lepas dari jerat kemiskinan dan tak lagi tergantung pada bantuan. Itulah klimaks kebahagiaan mereka.
Dalam 18 tahun perjalanannya, PKH telah menghadapi berbagai tantangan: validasi data yang terus bergerak, perubahan kebijakan, hingga ekspektasi publik yang tinggi. Namun semua itu menjadi bagian dari proses pematangan.
Kini, PKH tak lagi berjalan sendiri. Ia terhubung dengan program komplementer seperti BPNT, PENA, BLK, UMKM, hingga akses modal usaha dan pelatihan keterampilan. Peran Pendamping pun semakin strategis mereka harus melek data, melek teknologi, dan tetap humanis.
“Kami bukan hanya pendamping, kami penyambung harapan. Kadang kami bukan hanya ditanya soal bantuan, tapi juga jadi tempat curhat, bahkan tempat warga minta solusi hidup,” kata salah satu Pendamping PKH dari Garut, saat ditemui dalam kegiatan koordinasi kecamatan.
Menapaki 18 tahun usia PKH, kita tidak sedang merayakan angka. Kita sedang mengenang ribuan langkah kaki yang tak terekam kamera, ribuan senyum yang muncul dari perubahan kecil, dan ribuan cerita yang dimulai dari “Bismillah, saya ingin mandiri”.
PKH bukan hanya urusan bantuan sosial. Ia adalah gerakan sosial dalam bentuk negara yang hadir di tengah masyarakat paling rentan. Dan para SDM PKH adalah ujung tombaknya.
Kini, tantangan ke depan bukan hanya soal distribusi bansos. Tapi bagaimana PKH terus berinovasi agar bantuan bisa melahirkan kemandirian, dan kemandirian bisa melahirkan keberdayaan. Kita perlu terus mendorong agar SDM PKH dibekali dengan pelatihan mutakhir, perlindungan kerja yang layak, dan pengakuan publik yang setara.
Karena mereka bukan hanya pendamping. Mereka adalah penjaga harapan di negeri yang masih terus bertumbuh dalam perjuangan. (*)